1. Tujuan Hidup dan Tugas Manusia serta Permusuhan Syaithan
Tujuan
hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Maha
Pencipta sebagaimana difirmankan Allah dalam Al- Qur'an Surat
Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang berbunyi "Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" dan Surat Al-Baqarah ayat
21 yang mengatakan "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa".
Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan semata
mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang
diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya.
Selain
itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah
(pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan ini terpatri dalam Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: "Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi'..." Kepemimpinan itu dimulai dengan
memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan kemudian berkembang
ke memimpin lingkungan yang lebih luas.
Kepercayaan
Allah terhadap manusia ini diprotes oleh baik malaikat maupun iblis,
dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka
saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang
dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang
dibuat dari tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti
perintah Allah dan mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap
membangkang. Hal ini terlihat dari dialog antara Allah dengan malaikat
dan iblis yang terdapat dalam Al-Qur'an.
"...... Mereka
(malaikat) berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?' Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30).
"Dan (ingatlah),
tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu semua kepada
Adam', lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: 'Apakah aku akan
sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?'". (Q.S. Al- Israa':
61).
Sedangkan syaithanpun tetap bersikukuh untuk ingkar
terhadap perintah Allah ini meskipun diancam dengan Neraka Jahannam.
Akan tetapi syaithan minta 'privilege' kepada Allah SWT untuk dapat
hidup terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia
mengikuti jalan sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini. Peristiwa
ini diceritakan dalam Al-Qur'an Surat Al- Israa' ayat:62-65:
"Dia
(iblis) berkata: 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau
muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku
sampai hari kiamat, niscaya benar- benar akan aku sesatkan keturunannya,
kecuali sebagian kecil'."
"Tuhan berfirman: 'pergilah,
barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya
neraka jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang
cukup."
"Dan hasunglah (bawalah) siapa yang kamu sanggupi
di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka
pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah
dengan mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh Syaithan kepada mereka
melainkan tipuan belaka."
"Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".
Maka
syaithanpun bersumpah akan menyesatkan manusia dengan cara apapun dan
dari jalan manapun. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat
An-Nisaa'ayat 118-119 yang berbunyi: "... dan syaithan itu mengatakan:
'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang
sudah ditentukan (untuk saya), dan saya akan menyesatkan mereka, dan
akan membangkitkan angan- angan kosong mereka, ..." dan Surat Al-A'raaf
ayat 16-17 yang berbunyi: "Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi
mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi
mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(ta'at)."
2. Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb)
Hati
merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan
seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan
Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Az-Zumar 17-18:
"Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat
kepada bathinmu." Rasulullah SAW bersabda: "Bahwa dalam badan anak Adam
itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh
badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah seluruh
badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah
hati."
Peranan hati itu demikian penting karena
didalamnya Allah Ta'ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah
(Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian).
Dengan Nur itulah manusia dapat memperoleh ma'rifat. Apabila manusia
menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali kepada hatinya,
terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut "Ilmu Laduniah".
Al-Bazari berkata: "Dalam hati itu terdapat sifat 'Al- Latifah',
'Ar-Rabbaniyah', dan 'Ar-Rohaniyah' yang bersangkutan dengan tubuh
manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif,
tempat Nur yang ditaruh Tuhan padanya."
Sedangkan
Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: "Hati itu tempat ilmu hakikat karena
'latifatur Rabbaniyyah' yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati
itu alat penembus hakikat..."
Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu'min itu melihat kepada langit malakut dan buminya." Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan 'nafsul-ammarah bissu' (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya'ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan.
Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu'min itu melihat kepada langit malakut dan buminya." Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan 'nafsul-ammarah bissu' (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya'ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan.
Hati
manusiapun menjadi buta. Abdul Qadir Al-Jaelani mengatakan bahwa
penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak
sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila
jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh
syaithan lewat hawa nafsu manusia, seperti: syirik, zinna, takabur,
irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka rahasia
orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya
yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan.
Butanya hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia.
Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Haj ayat 46 berbunyi:
"... Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya,
melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada." Sifat jiwa yang
zalim yang menyebabkan butanya hati tersebut adalah suatu penyakit yang
apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-pinak. Hal
ini ditandaskan oleh Allah SWT dalam FirmanNya di dalam Al-Qur'an Surat
Al-Baqarah ayat 9: "Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu
Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, karena
mereka berdusta" dan Surat At-Taubah ayat 125: "Dan adapun bagi
orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di
atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir."
Demikian
berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu
manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa
nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau seperti: "Jihad
yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa
nafsunya" (Bukhari dan Muslim), "Musuhmu yang paling berbahaya adalah
nafsumu yang terletak diantara lambungmu", dan "Kami kembali dari jihad
kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu" (yang diucapkan
sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh
yang dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa
nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat
atau hari qiamat.
3. Dzikir Membersihkan Hati
Membersihkan
hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu 'ain
hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar karena
penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat
ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada
Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh
hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang
benderang dengan izin Tuhannya. Cara kaum Sufi membuang penyakit hati
tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain
meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah,
mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak
memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak menghadiri tempat yang
menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram,
dan menahan diri dari ajakan syahwat. Riyadhah dan latihan khusus kaum
Sufi untuk membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan
menyebut nama Allah.
Hal ini dilandaskan pada
Firman-firman Allah SWT dalam Al-Qur'an seperti: "Karena itu, ingatlah
kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)- Ku." (Al-Baqarah
152), "Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah
kepada-Nya di waktu pagi dan petang", "Adapun orang laki-laki yang
banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah
baginya ampunan dan pahala yang besar" (Al-Ahzab 35), dan "(yaitu)
orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan
dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang"
(Ar-Ra'd 28). Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Bahwasanya hati itu itu kotor seperti
besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah", "Bagi setiap
sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah
"DZIKRULLAH", dan "Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan 'LAA ILAAHA
ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH', karena syaithan itu kesakitan dengan
ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu
sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya", "Dzikir
kepada Allah SWT, jadi benteng dari godaan syaithan", dan "Allah
berfirman 'LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa
mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke
dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi)."
Pengertian
umum dzikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah
(baik yang fardlu maupun sunnat) seperti sholat, zakat, puasa, haji,
baca Qur'an, da'wah, belajar, berusaha, dll yang dilakukan semata atas
nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah dzikir. Akan tetapi
disamping melaksanakan hal-hal tersebut, kaum Sufi melaksanakan
Thariqat-dzikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada
sisi Allah (hati) secara Sufi, yaitu dengan menyebut LAILAA HA ILLALLAH
atau ALLAH baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dengan "cara tertentu."
Penulis tidak dapat menyampaikan metode Dzikrullah
tersebut oleh karena hanya Guru Sufi yang mursyid dan murid-muridnya
yang telah diberi "ijazah"lah yang berwenang mengajarkan metode Tha-
riqat-dzikir tersebut. Yang dapat penulis sampaikan adalah bahwa para
guru Sufi mengajar murid-muridnya mula-mula berdzikir dengan lidah
(dzikir zahar, dzikir dengan suara keras), kemudian meningkat secara
teratur kedzikir hati (dzikir khofi, dzikir yang tidak bersuara karena
didalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan,
lantas meningkat lagi ke dzikir Sirri (dzikir di dalam hatinya hati).
Hamba Allah yang sudah mampu berdzikir sirri ini tidak akan pernah
terputus dzikirnya meskipun ia terlupa berdzikir. Sementara itu, sang
guru pun membantu muridnya yang sedang dalam keadaan salik untuk
menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya.
Ulama-ulama
Sufi berkata: "Apabila murid-murid mengucapkan dzikir LAA ILAAHA
ILLALLAH dengan memusatkan perhatiannya secara bulat kepadaNya, maka
terbuka segala tingkat ajaran Thariqat dengan cepat, yang kadang-kadang
terasa dalam tempo satu jam, yang tidak dapat dihasilkan dengan ucapan
kalimat lain dalam tempo satu bulan atau lebih.
Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu' dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu, menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan.
Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu' dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu, menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan.
4. Hikmah Lanjut dari Dzikir: Qurb, Tenang, Fana, dan Ma'rifat
Kaum
Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu'nya karena
merasakan keni'matan, kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka
merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya,
merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan
memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma'rifat). Abu Sa'id Al-Harraz
r.a. berkata: "Apabila Allah Ta'ala hendak mengangkat seorang hambanya
menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu
dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya 'babul
qurb', kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian
ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya
hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam 'darul fardaniyyah',
dan dibukakanlah kepadanya 'Hijabul jalali wal'uzmati'. Apabila sampai
pada 'jalali wal'uzmati', ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa
(Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana."
Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah
berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya
kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati
terhadap Allah.
Kejauhan itu lupa hati.Kedekatan itu
ingat hati.Kejauhan itu hijab (tertutup).Kedekatan itu kasyaf (terbuka).
Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur.Gelap itu jahil, Nur itu Ma'rifat.
Rasulullah SAW bersabda: "Firman Allah Ta'ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). "Guru Sufi berkata: "Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya."
Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: "... (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur'an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.
Rasulullah SAW bersabda: "Firman Allah Ta'ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). "Guru Sufi berkata: "Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya."
Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: "... (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur'an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.
Sampai
di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh
alam dan dirinya hancur lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini
orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman allah dalam
Al-Qur'an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: "Semua yang ada akan fana binasa,
yang kekal adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia."
Dzikrullah
itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu'min dari bumi syahwat ke
langit ma'rifat. Rasulullah SAW bersabda "Tidak ada seorangpun yang
berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan
membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy." Guru Sufi
mengatakan: "dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit
(mencapai martabat yang tinggi)." Dalam tingkat ma'rifat ini hamba Allah
dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan segala rahasia
yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata:
"Ma'rifat itu berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan
besar. Yang demikian itu adalah wasilah "Al-Kasyafful al-Bathini' atau
'Wasilatul Ilham ar-Ruhi', yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang
baik, dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir
orang-orang materialis."
5. Syariat, Thariqat, dan Hakikat
Penulis
menangkap ada suatu kesan bahwa bila orang sudah pada tingkat hakikat
maka tidak perlu lagi dia mempedulikan syari'at. Lebih jauh lagi bahkan
ada yang mempertentangkan syariat dengan hakikat, syari'at menyalahkan
hakikat dan hakikat meremehkan syari'at. Pandangan ini penulis kira
tidaklah benar.
Dalam Tasawwuf, hubungan antara syari'at,
thariqat, dan hakikat itu sangat erat, satu kesatuan yang bisa
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan apalgi dipertentangkan. Thariqat
atau jalan menuju Allah itu meliputi pekerjaan dzahir dan bathin.
Pekerjaan dzahir disebut syari'at dan pekerjaan bathin disebut hakikat.
Syari'at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan hakikat itu
memperoleh musyahadah dari padaNya.
Syari'at terikat
dengan hakikat, dan sebaliknya hakikat terikat dengan Syari'at.
Tiap-tiap pekerjaan syari'at yang tidak dikuatkan dengan hakikat tidak
diterima dan tiap-tiap hakikat yang tidak dibuktikan dengan syari'at pun
tidak diterima pula. Imam Al-Ghazali berkata: "Barang siapa mengambil
syari'at saja tetapi tidak mau tahu tentang Hakikat, orang itu fasik.
Barang siapa mengambil hakikat saja tetapi tidak melakukan syari'at maka
dia itu adalah kafir zindiq. Sedangkan yang melakukan syari'at dan
mengamalkan tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang
sesungguhnya." Riyadhah dan latihan-latihan tharikat tidak akan
berfaedah dan tidak akan mendekatkan dirimu kepada Allah SWT selama
perbuatanmu tidak sesuai dengan syari'at dan sejalan dengan Sunnah
Rasul.
Hubungan syari'at-thariqat-hakikat bisa dianggap
analog dengan islam-iman-ikhsan. Apabila Seorang hamba Allah hanya sibuk
dengan ibadah secara dzahir maka ia berada dalam maqam islam atau maqam
syari'at. Apabila amal ibadah itu disertai dengan hati yang bersih dan
ikhlas serta bebas dari kejahatan maka orang itu berada pada maqam iman
atau maqam tharikat. Apabila manusia itu beribadat semata karena Allah,
seakan-akan ia melihat Allah dan ia yakin Allah melihatnya maka hamba
Allah itu berada dalam maqam ikhsan atau maqam hakikat.
6. Tasawwuf dan Dunia
Anggapan
umum tentang Tasawwuf adalah bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka
meninggalkan segala hal yang berbau dunia. Anggapan ini tidak seluruhnya
benar. Kaum Sufi menjauhi sesuatu, termasuk dunia, yang menghalangi
mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang berdasarkan
Firman Allah dalam Al- Qur'an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian
maka mereka itulah orang-orang yang rugi."
Akan tetapi
apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap
Allah, apalagi itu perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan
mengambilnya. Sikap inipun dilandaskan pada Al-Quran dan Hadis seperti:
"Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah
engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan
berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita berbuat di atas muka bumi
ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan" (Q.S
Al-Qosas 77), "Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan
Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi
ini" (Q.S. Al-Baqarah 60), dan sabda Nabi Muhammada SAW: "Bukanlah orang
baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya
meninggalkan akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena
dunia itu jalan ke akhirat dan jangan kamu bergantung kepada manusia"
(Riwayat Ibn As-sakir).
Bahkan Ulama-ulama Sufi dari
Thariqat-thariqat Syaziliyyah, Naqsyabandiyyah, dan Qadariyyah
menganjurkan murid-muridnya untuk memakan makanan yang enak-enak,
memakai pakaian yang bagus-bagus, tidur diatas kasur yang empuk,
memiliki harta benda, dan sebagainya asal semuanya itu dapat mendekatkan
muridnya kepada Allah. Ulama-ulama tasawwuf itu berkata: "Tidak mengapa
mengikuti syahwat yang diperkenankan untuk diri kita, apabila ternyata
dapat menguatkan ibadat seperti: tidak mengapa memakai pakaian yang
bagus untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak mengapa makan dan minum yang
lezat-lezat untuk kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan
menjadi kuat panca indera." Ahli ma'rifat Syazili mengatakan "Makan dan
minumlah kamu dari makanan yang baik-baik, minumlah minuman yang sedap,
tidurlah di atas tempat tidur yang empuk, berpakaianlah dengan pakaian
yang halus, dan perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu." Syeikh Bahauddin
Naqsyabandi berkata: "Tiapa macam makanan harus baik dan beribadat pun
harus baik pula". Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: "Harta benda
itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini
harus menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi
orang yang mulia."
7. Penutup
Tasawuf
itu bukanlah ilmu atau amal yang dapat dibahas secara ilmiah atau
filsafati karena tasawuf hanya dapat ditangkap oleh hati, dan bukan oleh
akal yang mempunyai keterbatasan. Rahasia Tasawuf tidak dapat dinikmati
dengan hanya mempelajari buku-buku atau mendengarkan ceramah-ceramah
karena buku-buku dan ceramah- ceramah tersebut tidak dapat
mengekspresikan peristiwa bathiniyyah yang terjadi dalam dunia tasawwuf
secara sempurna dan akurat yang disebabkan oleh keterbatasan bahasa
manusia. Hikmah tasawwuf ini hanya dapat dirasakan dengan melakukan
rhiyadhah dan latihan-latihan thariqat dengan tekun dan khussyu' di
bawah bimbingan Guru Sufi yang Mursyid.
Karena
kendala-kendala diatas dan, yang lebih penting lagi, karena keawaman
penulis dalam bidang Tasawuf maka tulisan ini jauh dari sempurna. Bila
ada kebenaran maka kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, bila ada
kesalahan maka kekeliruan itu sepenuhnya karena kekhilafan penulis.
Untuk itu, penulis mohon ampun dan petunjuk dari Allah SWT serta mohon
ma'af dan koreksi dari Akhi dan Ukhti sekalian.